PETUNJUK
PENGERJAAN TAKE HOME
1. Untuk
memahami soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu
kemudian, silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai
dengan pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki
tingkat kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
2. Setiap
jawaban sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai
dengan pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda
gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah
maka akan ada nilai tambah.
3. Perhatikan
teknik penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga
menjadi penilaian!
4. Jawaban
ini juga harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan
jawaban dengan literatur maka ada nilai tambah.
SOAL
1.
Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan poikilotermik sangat berguna aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari
golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan
contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan pemanfaatan konsep
kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan
dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi,
khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan
contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter apa yang harus
ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan
contoh riilnya!
5.
Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan
untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip
dan praktik pemanfaatannya!
6.
Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi
aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian
tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
Jawaban
1. Suhu sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hewan poikiloterm. Suhu yang optimal akan
mempersingkat waktu pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme. Suhu merupakan
parameter yang menunjukkan derajat panas atau dapat dipakai sebagai indikator tentang
besarnya energi yang dibebaskan oleh benda. Adanya keterkaitan antara suhu
lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan poikiloterm disebut
sebagai konsep waktu suhu. Hewan
poikiloterm, memerlukan kombinasi antara faktor suhu dan waktu untuk
mengoptimalkan pertumbuhannya. Hewan poikiloterm memerlukan waktu yang lama
untuk tumbuh dan berkembang apabila suhu lingkungan dibawah suhu optimal,
sebaliknya hewan poikiloterm membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh dan
berkembang apabila suhu diatas suhu minimum. (http://biomatectona.blogspot.com/2011_04_01_archive.html)
Konsep
waktu-suhu ini terkait dengan kasus peledakan ulat bulu pada pohon mangga di
Probolinggo tahun 2010. Pada tahun 2010, terjadi musim penghujan yang panjang
sehingga meningkatkan kelembaban udara. Selain itu, musim penghujan tersebut
diselingi oleh cuaca yang tidak menentu akibat aktivitas vulkanik Gunung Bromo.
Suhu yang berfluktuasi berdampak pada iklim mikro yang mendukung perkembangan
ulat bulu. Suhu yang sesuai untuk ulat bulu tersebut juga mempercepat penetasan
telur ulat bulu sehingga terjadi ledakan populasi ulat bulu. Menurut (Baliadi,Dkk,
2012) Faktor abiotik dan biotik dapat memicu peningkatan populasi ulat bulu,
khususnya A. submarginata pada tanaman
mangga. Faktor pemicu utama ledakan populasi ulat bulu adalah perubahan
ekosistem yang ekstrem pada agroeko-sistem mangga. Suhu yang berfluktuasi
berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu (dalam
jurnal yang berjudul “ Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi,
Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian”).
2.
Konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dapat dimanfaatkan
dalam penetapan hewan langka. Aspek kelimpahan dapat digunakan untuk mengetahui
keberadaan organisme pada suatu wilayah dan pada waktu tertentu. Selain itu,
aspek Prevalensi dan intensitas juga penting sebagai acuan dalam penetapan hewan langka.
Prevalensi adalah frekuensi kehadiran suatu organisme pada wilayah/ ruang dan
waktu tertentu, sedangkan intensitas adalah kerapatan suatu spesies. Hewan yang memiliki prevalensi yang tinggi akan
mempunyai daerah penyebaran yang luas, sehingga mudah untuk dijumpai. Sedangkan
hewan yang memiliki prevalensi rendah akan sulit ditemukan atau hanya bisa
ditemukan di tempat-tempat tertentu saja karena daerah penyebarannya sempit. Penyebarann
(disperse) memiliki beberapa tipe yaitu seragam, acak, dan acak berkelompok. Faktor fekunditas juga dikaitkan
dalam penetapan hewan langka. Fekunditas adalah laju
reproduksi aktual suatu organisme
atau populasi. Suatu
Spesies dapat menjadi langka sebab daerah yang dapat dihuninya langka juga atau
terlalu kecil, tempat dihuni itu di luar jangkauan kisaran sebaran,
ketersediaan sumberdaya rendah, keragaman genetik di antara anggotanya
membatasi dan menjadi sempitnya kisaran daerah yang dapat dihuninya,
plastisitas fenotipik individu didalamnya membatasi kisaran daerah yang dapat
dihuninya dan suatu spesies dapat menjadi langka karena kompetitor, pemangsaan,
parasit atau manusia kolektor. Penyebab spesies menjadi langka tersebut
berkaitan dengan faktor kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse,
fekunditas, dan kelulushidupan sehingga faktor tersebut dapat dimanfaatkan
dalam penetapan hewan langka. (http://suryaayurahmawati.blogspot.com/2010/12/populasi.html)
3.
Setiap makhluk hidup melakukan interaksi baik interaksi
positif maupun negatif. Dalam populasi terdapat bentuk pemangsaan yang
dilakukan hewan parasit terhadap tubuh inangnya atau yang disebut parasitisme.
Pada umumnya hewan ini mempunyai tubuh yang lebih kecil daripada inangnya. Pada
waktu yang lama, hewan parasit ini dapat menyebabkan kematian pada inang. Sedikit
berbeda dengan parasitisme, parasitoidisme adalah
bentuk pemangsaan yang sangat khas yang dilakukan oleh sejenis serangga
terhadap jenis serangga yang lain. Dalam hal ini, serangga parasitoid
meletakkan telurnya pada atau dekat dengan serangga inangnya. Ketika nanti
telur itu menetas, maka larva yang terbentuk akan memakan tubuh serangga
inangnya sambil menjalani pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut. Dengan
demikian biasanya serangga inangnya sudah terbunuh sebelum atau selama
parasitoid menjalani stadium kepompong. Parasitisme dan parsitoidime dapat
dimanfaatkan sebagai pengendali biologis. Contoh: Spalangia endius dan S.
nigroaenea serta Pacchyrepoideus vindemiae merupakan
parasitoid yang menyerang pupa lalat rumah dan lalat kandang untuk kehidupan
larva dan pupanya, sedangkan dewasanya hidup bebas. Pada kehidupan parasitoid
secara umum makanannya berupa nektar dan haemolim inang. Sebagian besar
parasitoid adalah anggota dari ordo hymenoptera meskipun parasitoid juga banyak
dari ordo diptera, dan sebagian kecil juga ditemukan pada ordo Stresiptera. Parasitoid dianggap
lebih baik daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati. Analisis terhadap
introduksi musuh alami (Amerika serikat ) menunjukkan
bahwa keberhasilan penggunaan parasitoid dalam pengendalian hayati mencapai dua
kali lebih besar daripada pemangsa (http://irwansetiar.blogspot.com/2012/12/makalah-kepentingan-serangga-di-dalam.html).
4.
Menurut saya, sifat dan karakter yang harus ditanamkan pada
siswa dalam belajar konsep-konsep ekologi adalah tanggung jawab, kritis dan
peduli terhadap lingkungan. Dengan sifat dan karakter tersebut siswa diharapkan
akan memiliki kesadaran bahwa manusia adalah mahkluk
ekologis yang memandang semua kehidupan baik manusia, hewan maupun tumbuhan
merupakan mahkluk yang bernilai maka dari itu harus dirawat dan dijaga
kelestariannya. Siswa diajak untuk berpikir kritis terhadap ekosistem serta
mengetahui manfaat apa yang akan diperoleh jika keseimbangan ekosistem terjaga.
Sikap kritis siswa wajib ditumbuhkan baik secara moralitas maupun
intelektualitas sebagai wujud nyata
kepedulian pada lingkungan sekitar. Konsep-konsep ekologi hewan dapat
diaplikasikan secara optimal apabila siswa mempunyai kepedulian dan tanggung
jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Moh. Yamin (2008) mengusulkan kurikulum
pendidikan berbasis ekologi perlu dan sangat penting dihidupkan di setiap
lembaga pendidikan. Adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang
diharapkan mampu dibuat sesuai dengan kebutuhan lokalitas daerah atau satuan
pendidikan masing-masing adalah jalan menuju pembentukan karakter anak didik
cinta lingkungan (Raharja, Setya dalam artikel yang berjudul “ Pendidikan Berwawasan
Lingkungan)
Contoh riil: penerapan
kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup melalui mata pelajaran Pendidikan
Lingkungan Hidup di SMA N Tempeh-Lumajang / SMA Tempeh Adiwyata (SMATA) .
Selain itu, juga diadakan ekstra kurikuler “green care” dimana siswa dilatih
untuk memilikikesadaran, rasa kepedulian yang tinggi dan cinta terhadap
lingkungan serta berupaya menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga keseimbngan
antara flora dan fauna disekitar lingkungan tersebut dapat terjaga (http://greencaresmata.blogspot.com)
5.
Larva Trichoptera dapat
dimanfaatkan sebagai indikator biologi perairan. Larva Trichoptera ini juga
sering digunakan untuk mengkaji pengaruh subletal dari pemaparan bahan polutan
toksik di perairan. Hewan tersebut umumnya
banyak dijumpai pada
perairan yang memiliki permukaan
batuan dari dasar sungai atau danau.Sebagian besar larva Trichoptera lebih
menyukai hidup pada tipe perairan
dangkal (5-10 cm ) dengan air yang mengalir di atas permukaan batuan dan
sedikit jenis yang ditemukan pada substrat halus di bagian air yang dalam.
Prinsip dan praktik pemanfaatannya yaitu apabil abnormalitas morfologi dari
serangga ini terjadi maka lingkungan perairan memiliki tingkat pencemaran yang
tinggi. Abnormalitas pada insang trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae
dapat menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada
individu. Pencemaran dapat diketahui dengan mengamati perubahan morfologi
dari insang akibat pencemaran perairan
yang ditandai dengan adanya penghitaman
warna, reduksi dari anal papilae dan insang
trachea ketika larva tersebut didedahkan dengan menggunakan logam berat.
Menurut (Sudarso, 2009)
Salah satu biota yang layak
untuk dipertimbangkan sebagai bioindikator akuatik adalah larva serangga
Trichoptera. Larva tersebut
relatif sensitif digunakan sebagai bioindikator akuatik ditinjau dari
struktur komunitas, respon subletal (gangguan pada pembentukan pola jaring dan
abnormalitas insang maupun anal
papilae), bioakumulasi, dan respon perilaku akibat bahan
polutan toksik maupun sedimentasi. Paper ini menunjukkan potensi yang
besar dari hewan tersebut guna menilai status kesehatan dari sebuah ekosistem
perairan (jurnal yang berjudul “Potensi Larva Trichoptera Sebagai Bioindikator
Akuatik”)
6.
Relung adalah peranan fungsional yang dilakukan oleh makhluk
hidup. Relung suatu organisme tidak hanya
tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat mulai dari
bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap
lingkungan, mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya sampai bagaimana jenis
lain menjadi kendala baginya. Menurut (Sukarsono, 2012) Relung
ekologi suatu hewan ( individu, populasi) adalah status fungsional hewan itu
dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi,
struktural dan pola prilakunya. Kajian relung ini
dapat dimanfaatkan dalam konservasi hewan langka karena dengan mengetahui
relung hewan langka tersebut, kita dapat mengetahui kegiatannya, terutama
mengenai sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya,
pengaruh terhadap organisme lain bila berdampingan, dan sampai seberapa jauh
organisme yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai
proses dalam ekosistem. Sehingga kita mampu membantu memperluas relung dari
hewan langka sehingga hewan tersebut tetap bertahan hidup dan tidak terancam
punah.
Beruang madu (Helarctos
malayanus) merupakan jenis paling kecil dari kedelapan jenis beruang yang
ada di dunia. Berat badannya berkisar antara 30 sampai dengan 65 kilogram,
Beruang madu yang ada di Pulau Borneo merupakan yang paling kecil. Hutan hujan
tropis merupakan habitat utama beruang madu. Namun, habitat yang dibutuhkan
beruang termasuk tumbuhan, serangga dan makanan lain yang dibutuhkan beruang
kini terbatas. Oleh karena makanan aslinya sudah tidak ada, terkadang beruang
madu memakan tanaman pertanian. Selain
itu, beruang-beruang tersebut diburu sehingga keberadaanya kini menjadi langka.
Kajian relung: Beruang madu merupakan “omnivore” , memakan
banyak jenis makanan. Makanan utamanya adalah serangga (terutama rayap, semut,
larva kumbang dan kecoak hutan). Selain itu, beruang juga memakan biji-bijian.
Makanan yang paling disukai beruang madu adalah madu. Terkadang memakan bunga
tertentu. Rumput dan daun hampir tidak pernah dimakan. Di pinggiran hutan
beruang terkadang memakan umbut jenis-jenis palem, dan kemungkinan terkadang
memakan jenis mamalia kecil dan burung. Kukunya yang panjang, tajam dan
melengkung memudahkan beruang madu untuk menggali tanah, membongkar kayu jabuk,
dan rahangnya yang sangat kuat membuat beruang sanggup membongkar kulit kayu
guna mencari serangga dan madu. Dengan lidah panjangnya mereka mengambil
makanan terdapat pada lubang. Dalam satu hari seekor beruang madu berjalan
rata-rata 8 km untuk mencari makanannya. Apabila beruang madu memakan buah, maka
biji ditelan utuh, sehingga tidak rusak. Setelah buang air besar, biji yang ada
di dalam kotoran mulai tumbuh sehingga beruang madu mempunyai peran yang sangat
penting sebagai penyebar tumbuhan buah berbiji besar seperti cempedak, durian,
lahung, kerantungan dan banyak jenis lain. Perilaku mencari makan yang lain
seperti pembongkaran sarang rayap di tanah, kayu jabuk dan batang pohon hidup
untuk mendapatkan madu, bermanfaat bagi jenis satwa yang lain pula. Banyak
burung yang ikut memakan serangga apabila beruang sudah membongkar sarang atau
kayu jabuk dan pembongkaran kayu menyediakan lubang di batang pohon yang sering
dimanfaatkan satwa lain untuk berlindung ataupun berkembang-biak. Perilaku
menggali dan membongkar juga bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan
daur ulang yang sangat penting untuk hutan hujan tropis.
Sumber :
Sukarsono.2012.Pengantar Ekologi Hewan.Malang: UMM Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar