JellyPages.com

Sabtu, 20 April 2013

...





PETUNJUK PENGERJAAN TAKE HOME

1.     Untuk memahami soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu kemudian, silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki tingkat kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
2.   Setiap jawaban sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai dengan pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah maka akan ada nilai tambah.
3.    Perhatikan teknik penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga menjadi penilaian!
4.      Jawaban ini juga harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan jawaban dengan literatur maka ada nilai tambah.

SOAL

1.        Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.
2.        Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.        Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.        Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5.        Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
6.        Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!


Jawaban
1.       Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hewan poikiloterm. Suhu yang optimal akan mempersingkat waktu pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme. Suhu merupakan parameter yang menunjukkan derajat panas atau dapat dipakai sebagai indikator tentang besarnya energi yang dibebaskan oleh benda. Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan poikiloterm disebut sebagai konsep waktu suhu. Hewan poikiloterm, memerlukan kombinasi antara faktor suhu dan waktu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya. Hewan poikiloterm memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh dan berkembang apabila suhu lingkungan dibawah suhu optimal, sebaliknya hewan poikiloterm membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh dan berkembang apabila suhu diatas suhu minimum. (http://biomatectona.blogspot.com/2011_04_01_archive.html)
Konsep waktu-suhu ini terkait dengan kasus peledakan ulat bulu pada pohon mangga di Probolinggo tahun 2010. Pada tahun 2010, terjadi musim penghujan yang panjang sehingga meningkatkan kelembaban udara. Selain itu, musim penghujan tersebut diselingi oleh cuaca yang tidak menentu akibat aktivitas vulkanik Gunung Bromo. Suhu yang berfluktuasi berdampak pada iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu. Suhu yang sesuai untuk ulat bulu tersebut juga mempercepat penetasan telur ulat bulu sehingga terjadi ledakan populasi ulat bulu. Menurut (Baliadi,Dkk, 2012) Faktor abiotik dan biotik dapat memicu peningkatan populasi ulat bulu, khususnya  A. submarginata pada tanaman mangga. Faktor pemicu utama ledakan populasi ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroeko-sistem mangga. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu (dalam jurnal yang berjudul “ Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, Dan Cara Pengendalian”).

2.        Konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dapat dimanfaatkan dalam penetapan hewan langka. Aspek kelimpahan dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan organisme pada suatu wilayah dan pada waktu tertentu. Selain itu, aspek Prevalensi dan intensitas juga penting sebagai acuan dalam penetapan hewan langka. Prevalensi adalah frekuensi kehadiran suatu organisme pada wilayah/ ruang dan waktu tertentu, sedangkan intensitas adalah kerapatan suatu spesies. Hewan  yang memiliki prevalensi yang tinggi akan mempunyai daerah penyebaran yang luas, sehingga mudah untuk dijumpai. Sedangkan hewan yang memiliki prevalensi rendah akan sulit ditemukan atau hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu saja karena daerah penyebarannya sempit. Penyebarann (disperse) memiliki beberapa tipe yaitu seragam, acak, dan acak berkelompok. Faktor fekunditas juga dikaitkan dalam penetapan hewan langka. Fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi. Suatu Spesies dapat menjadi langka sebab daerah yang dapat dihuninya langka juga atau terlalu kecil, tempat dihuni itu di luar jangkauan kisaran sebaran, ketersediaan sumberdaya rendah, keragaman genetik di antara anggotanya membatasi dan menjadi sempitnya kisaran daerah yang dapat dihuninya, plastisitas fenotipik individu didalamnya membatasi kisaran daerah yang dapat dihuninya dan suatu spesies dapat menjadi langka karena kompetitor, pemangsaan, parasit atau manusia kolektor. Penyebab spesies menjadi langka tersebut berkaitan dengan faktor kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan sehingga faktor tersebut dapat dimanfaatkan dalam penetapan hewan langka. (http://suryaayurahmawati.blogspot.com/2010/12/populasi.html)

3.        Setiap makhluk hidup melakukan interaksi baik interaksi positif maupun negatif. Dalam populasi terdapat bentuk pemangsaan yang dilakukan hewan parasit terhadap tubuh inangnya atau yang disebut parasitisme. Pada umumnya hewan ini mempunyai tubuh yang lebih kecil daripada inangnya. Pada waktu yang lama, hewan parasit ini dapat menyebabkan kematian pada inang. Sedikit berbeda dengan parasitisme, parasitoidisme adalah bentuk pemangsaan yang sangat khas yang dilakukan oleh sejenis serangga terhadap jenis serangga yang lain. Dalam hal ini, serangga parasitoid meletakkan telurnya pada atau dekat dengan serangga inangnya. Ketika nanti telur itu menetas, maka larva yang terbentuk akan memakan tubuh serangga inangnya sambil menjalani pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut. Dengan demikian biasanya serangga inangnya sudah terbunuh sebelum atau selama parasitoid menjalani stadium kepompong. Parasitisme dan parsitoidime dapat dimanfaatkan sebagai pengendali biologis. Contoh:  Spalangia endius dan S. nigroaenea serta Pacchyrepoideus vindemiae merupakan parasitoid yang menyerang pupa lalat rumah dan lalat kandang untuk kehidupan larva dan pupanya, sedangkan dewasanya hidup bebas. Pada kehidupan parasitoid secara umum makanannya berupa nektar dan haemolim inang.  Sebagian besar parasitoid adalah anggota dari ordo hymenoptera meskipun parasitoid juga banyak dari ordo diptera, dan sebagian kecil juga ditemukan pada ordo Stresiptera. Parasitoid dianggap lebih baik daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati. Analisis terhadap introduksi musuh alami (Amerika serikat ) menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan parasitoid dalam pengendalian hayati mencapai dua kali lebih besar daripada pemangsa (http://irwansetiar.blogspot.com/2012/12/makalah-kepentingan-serangga-di-dalam.html).

4.        Menurut saya, sifat dan karakter yang harus ditanamkan pada siswa dalam belajar konsep-konsep ekologi adalah tanggung jawab, kritis dan peduli terhadap lingkungan. Dengan sifat dan karakter tersebut siswa diharapkan akan memiliki kesadaran bahwa manusia adalah mahkluk ekologis yang memandang semua kehidupan baik manusia, hewan maupun tumbuhan merupakan mahkluk yang bernilai maka dari itu harus dirawat dan dijaga kelestariannya. Siswa diajak untuk berpikir kritis terhadap ekosistem serta mengetahui manfaat apa yang akan diperoleh jika keseimbangan ekosistem terjaga. Sikap kritis siswa wajib ditumbuhkan baik secara moralitas maupun intelektualitas sebagai  wujud nyata kepedulian pada lingkungan sekitar. Konsep-konsep ekologi hewan dapat diaplikasikan secara optimal apabila siswa mempunyai kepedulian dan tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Moh. Yamin (2008) mengusulkan kurikulum pendidikan berbasis ekologi perlu dan sangat penting dihidupkan di setiap lembaga pendidikan. Adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diharapkan mampu dibuat sesuai dengan kebutuhan lokalitas daerah atau satuan pendidikan masing-masing adalah jalan menuju pembentukan karakter anak didik cinta lingkungan (Raharja, Setya dalam artikel yang berjudul “ Pendidikan Berwawasan Lingkungan)
Contoh riil: penerapan kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup melalui mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup di SMA N Tempeh-Lumajang / SMA Tempeh Adiwyata (SMATA) . Selain itu, juga diadakan ekstra kurikuler “green care” dimana siswa dilatih untuk memilikikesadaran, rasa kepedulian yang tinggi dan cinta terhadap lingkungan serta berupaya menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga keseimbngan antara flora dan fauna disekitar lingkungan tersebut dapat terjaga (http://greencaresmata.blogspot.com)


5.        Larva Trichoptera dapat dimanfaatkan sebagai indikator biologi perairan. Larva Trichoptera ini juga sering digunakan untuk mengkaji pengaruh subletal dari pemaparan bahan polutan toksik di perairan. Hewan tersebut umumnya  banyak  dijumpai  pada  perairan  yang memiliki permukaan batuan dari dasar sungai atau danau.Sebagian besar larva Trichoptera lebih menyukai hidup  pada tipe perairan dangkal (5-10 cm ) dengan air yang mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit jenis yang ditemukan pada substrat halus di bagian air yang dalam. Prinsip dan praktik pemanfaatannya yaitu apabil abnormalitas morfologi dari serangga ini terjadi maka lingkungan perairan memiliki tingkat pencemaran yang tinggi. Abnormalitas pada  insang  trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu. Pencemaran dapat diketahui dengan mengamati perubahan morfologi dari  insang akibat pencemaran perairan yang ditandai  dengan adanya  penghitaman   warna, reduksi dari  anal papilae  dan insang  trachea ketika larva tersebut didedahkan dengan menggunakan logam berat.
Menurut (Sudarso, 2009) Salah satu biota  yang  layak  untuk dipertimbangkan sebagai bioindikator akuatik adalah larva  serangga  Trichoptera. Larva tersebut  relatif sensitif digunakan sebagai bioindikator akuatik ditinjau dari struktur komunitas, respon subletal (gangguan pada pembentukan pola jaring dan abnormalitas  insang maupun anal papilae), bioakumulasi, dan respon perilaku akibat  bahan  polutan toksik maupun sedimentasi. Paper ini menunjukkan potensi yang besar dari hewan tersebut guna menilai status kesehatan dari sebuah ekosistem perairan (jurnal yang berjudul “Potensi Larva Trichoptera Sebagai Bioindikator Akuatik”)


6.        Relung adalah peranan fungsional yang dilakukan oleh makhluk hidup. Relung suatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat mulai dari bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap lingkungan, mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya sampai bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya. Menurut (Sukarsono, 2012) Relung ekologi suatu hewan ( individu, populasi) adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi, struktural dan pola prilakunya. Kajian relung ini dapat dimanfaatkan dalam konservasi hewan langka karena dengan mengetahui relung hewan langka tersebut, kita dapat mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila berdampingan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem. Sehingga kita mampu membantu memperluas relung dari hewan langka sehingga hewan tersebut tetap bertahan hidup dan tidak terancam punah.
Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan jenis paling kecil dari kedelapan jenis beruang yang ada di dunia. Berat badannya berkisar antara 30 sampai dengan 65 kilogram, Beruang madu yang ada di Pulau Borneo merupakan yang paling kecil. Hutan hujan tropis merupakan habitat utama beruang madu. Namun, habitat yang dibutuhkan beruang termasuk tumbuhan, serangga dan makanan lain yang dibutuhkan beruang kini terbatas. Oleh karena makanan aslinya sudah tidak ada, terkadang beruang madu memakan tanaman pertanian.  Selain itu, beruang-beruang tersebut diburu sehingga keberadaanya kini menjadi langka.
Kajian relung:  Beruang madu merupakan “omnivore” , memakan banyak jenis makanan. Makanan utamanya adalah serangga (terutama rayap, semut, larva kumbang dan kecoak hutan). Selain itu, beruang juga memakan biji-bijian. Makanan yang paling disukai beruang madu adalah madu. Terkadang memakan bunga tertentu. Rumput dan daun hampir tidak pernah dimakan. Di pinggiran hutan beruang terkadang memakan umbut jenis-jenis palem, dan kemungkinan terkadang memakan jenis mamalia kecil dan burung. Kukunya yang panjang, tajam dan melengkung memudahkan beruang madu untuk menggali tanah, membongkar kayu jabuk, dan rahangnya yang sangat kuat membuat beruang sanggup membongkar kulit kayu guna mencari serangga dan madu. Dengan lidah panjangnya mereka mengambil makanan terdapat pada lubang. Dalam satu hari seekor beruang madu berjalan rata-rata 8 km untuk mencari makanannya. Apabila beruang madu memakan buah, maka biji ditelan utuh, sehingga tidak rusak. Setelah buang air besar, biji yang ada di dalam kotoran mulai tumbuh sehingga beruang madu mempunyai peran yang sangat penting sebagai penyebar tumbuhan buah berbiji besar seperti cempedak, durian, lahung, kerantungan dan banyak jenis lain. Perilaku mencari makan yang lain seperti pembongkaran sarang rayap di tanah, kayu jabuk dan batang pohon hidup untuk mendapatkan madu, bermanfaat bagi jenis satwa yang lain pula. Banyak burung yang ikut memakan serangga apabila beruang sudah membongkar sarang atau kayu jabuk dan pembongkaran kayu menyediakan lubang di batang pohon yang sering dimanfaatkan satwa lain untuk berlindung ataupun berkembang-biak. Perilaku menggali dan membongkar juga bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan daur ulang yang sangat penting untuk hutan hujan tropis.
Sumber : Sukarsono.2012.Pengantar Ekologi Hewan.Malang: UMM Press










Tidak ada komentar:

Posting Komentar